Jumat, 20 April 2012

Loyalitas Utama Jurnalisme adalah Pada Warga Negara

Organisasi pemberitaan dituntut melayani berbagai kepentingan konstituennya, seperi lembaga komunitas, kelompok kepentingan lokal, perusahaan induk, pemilik saham, pengiklan, dan banyak kepentingan lain. Semua itu harus dipertimbangkan oleh organisasi pemberitaan yang sukses. Namun, kesetiaan pertama harus diberikan kepada warga negara (citizens). Sekadar menyebut, bahwa wartawan wajib mencari kebenaran tidaklah cukup. Elemen kedua yang mutlak perlu dan mendukung elemen pertama adalah komitmen dan loyalitas wartawan terhadap siapa. “Loyalitas pertama jurnalisme adalah kepada warga.” yang artinya bahwa wartawan tidak menaruh loyalitas utama kepada bosnya, pemilik media, pemimpin redaksinya, atau pemerintah. Kesetiaan kepada warga ini adalah makna dari yang kita sebut sebagai independensi jurnalisme. Independensi adalah bebas dari semua kewajiban, kecuali kesetiaan terhadap kepentingan publik. Jadi, jurnalis yang mengumpulkan berita tidak sama dengan karyawan perusahaan biasa, yang harus mendahulukan kepentingan majikannya. Jurnalis memiliki kewajiban sosial, yang dapat mengalahkan kepentingan langsung majikannya pada waktu-waktu tertentu, dan kewajiban ini justru adalah sumber keberhasilan finansial majikan mereka.

Sebagai wartawan seharusnya bertanya pada diri sendiri, “Kepada siapa wartawan harus menempatkan loyalitasnya? Pada perusahaannya? Pada pembacanya? Atau pada masyarakat?” Pertanyaan itu penting karena sejak 1980-an banyak wartawan Amerika yang berubah jadi orang bisnis. Sebuah survei menemukan separuh wartawan Amerika menghabiskan setidaknya sepertiga waktu mereka buat urusan manajemen ketimbang jurnalisme. Ini memprihatinkan karena wartawan punya tanggungjawab sosial yang tak jarang bisa melangkahi kepentingan perusahaan di mana mereka bekerja. Walaupun demikian, tanggungjawab itu sekaligus adalah sumber dari keberhasilan perusahaan mereka. Perusahaan media yang mendahulukan kepentingan masyarakat justru lebih menguntungkan ketimbang yang hanya mementingkan bisnisnya sendiri.

Jika dilihat dari elemen yang kedua ini jelasa bahwa loyalitas wartawan seharusnya berujung pada publik, sebagai pembaca dari apa yang kita beritakan. Seharusnya dalam proses pemberitaan dari mulai mencari berita dan narasumber, wartawan tidak boleh dipengaruhi oleh apapun dan siapapun selain oleh semangat kebenaran dan loyalitas pada publik. Soal perusahaan yang mencari keuntungan itu seharusnya bukan bagian dari apa yang harus dipikirkan oleh wartawan dalam memberitakan sesuatu. Seharusnya, yang selalu diingat adalah bagaimana membuat suatu berita yang menarik bagi pembaca yang menjunjung kebenaran, dan juga bagaimana bertanggung jawab pada publik jika berita yang dibuat hanya fiktif, padahal sudah jelas yang akan membaca suatu media bukan hanya sekelompok orang, tetapi semua orang di negara ini bahkan di seluruh dunia. Sesuatu yang sangat berat yang harus dilakukan wartawan. Belum lagi harus bertanggung jawab terhadap narasumber yang merasa dirugikan atas pemberitaan tersebut, mungkin karena tidak pernah memberi keterangan seperti yang diberitakan oleh wartawan tersebut. Sebagai contoh:

1. Seperti yang telah dilakukan oleh wartawan “Jawa Pos” yang mengaku mewawancarai dengan Wan Nooraini Jusoh, istri dari almarhum doctor Azahari. Namun, dalam kenyataannya, Wan Nooraini Jusoh menderita kanker tenggorokan yang tentunya jelas tidak bisa berbicara. Belum lagi dengan wartawan lainnya yang tidak bisa mewawancarai istri Doktor Azahari ini, jadi jelas hal ini hanya hasil kreatifitas image dari wartawan Jawa Pos. Mungkin awal dari pemberitaan yang dilakukan oleh Jawa Pos adalah untuk menaikkan citra perusahaan, yang mungkin ingin mendapatkan keuntungan. Walaupun pada akhirnya pihak Jawa Pos mengklarifikasi berita tersebut dengan dalih hal ini tidak hanya terjadi saat ini saja, tetapi pernah terjadi pada media lain. Sungguh suatu hal yang aneh, padahal untuk mendapatkan sebuah keuntungan, perusahaan media tidak harus melakukan hal tersebut.

2. Pada 1893 seorang pengusaha membeli harian “The New York Times”. Adolph Ochs percaya bahwa penduduk New York capek dan tak puas dengan ‘surat kabar-surat kabar kuning’ yang kebanyakan isinya sensasional. Ochs hendak menyajikan surat kabar yang serius, mengutamakan kepentingan publik dan menulis, “… to give the news impartiality, without fear or favor, regardless of party, sect or interests involved”. Pada 1933 Eugene Meyer membeli harian “The Washington Post” dan menyatakan di halaman surat kabar itu, “Dalam rangka menyajikan kebenaran, surat kabar ini (The Washington Post) akan mengorbankan keuntungan materialnya demi kepentingan masyarakat”. Prinsip Ochs dan Meyer terbukti benar. Dua harian itu menjadi institusi publik yang prestisius sekaligus bisnis yang menguntungkan.

Dari contoh dua kasus tersebut terlihat jelas mana yang menguntungkan. Media yang jujur, yang lebih mementingkan kepentingan publik lebih menguntungkan perusahaan tersebut. Tidak hanya soal prestisius, tapi soal finansial juga menjadi lebih baik. Kepercayaan yang diberikan publik pada media jangan sampai hilang akibat satu berita bohong dari oknum wartawan. Seperti yang terjadi pada Jawa Pos, mungkin sekarang kita akan lebih berhati-hati memilih media mana yang dapat memberikan kebenaran terhadap suatu kasus. Padahal untuk memberikan suatu berita yang benar-benar terjadi, tidak terlalu sulit. Hanya langkah-langkah sederhana yang harus dilakukan oleh wartawan seperti liputan, penelusuran sumber berita, wawancara, dan memilih sumber yang kompeten terhadap kasus yang diangkat. Langkah-langkah sederhana itu tentunya akan menghindarkan kita dari kebohongan publik. Kita sebagai wartawan dan media seharusnya menyadari arti dari peribahasa akibat nila setitik rusak susu sebelanga. Akibat satu kesalahan tercemarlah nama baik perusahaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar