I
Pendahuluan
Cultivation Theory
(Teori Kultivasi) untuk pertama kalinya di gagas oleh George Gerbner bersama
dengan rekan-rekannya pada tahun 1969 dalam sebuah tulisan artikel dalam buku
bertajuk “Mass Media and Violence” yang disunting oleh D. Lange, R. Baker
dan S. Ball dengan judul “the Television
World of Violence”
Awalnya, Gerbner melakukan penelitian tentang “Indikator
Budaya” untuk mempelajari pengaruh menonton televisi. Menurut Wood (2000), kata
‘Cultivation’ sendiri merujuk pada
proses kumulatif dimana televisi menamkan suatu keyakinan tentang realitas
sosial kepada khalayaknya.
Menurut Signorielli dan Morgan (1990 dalam Griffin, 2004),
analisis kultivasi merupakan tahap lanjutan dari paradigma penelitian tentang
efek media, yang sebelumnya dilakukan oleh George Gerbner yaitu ‘Cultural Indicator’ yang menyelidiki:
a
Proses institusional dalam produksi isi media,
b
Image isi media, dan
c
Hubungan antara pesan televisi dengan keyakinan
dan perilaku khalayak.
Di awal perkembangannya, teori kultivasi ini lebih
memfokuskan kajiannya pada studi televisi dan audience, khususnya pada beberapa acara kekerasan di televisi. Namun,
dalam perkembangannya, ia juga bisa digunakan untuk kajian di luar tema
kekerasan.
Gerbner bersama beberapa rekannya kemudian melanjutkan
penelitian media massa tersebut dengan memfokuskan pada dampak media massa
dalam kehidupan sehari-hari melalui Cultivation
Analysis. Dari analisis tersebut diperoleh berbagai temuan yang menarik dan
orisional yang kemudian mengubah keyakinan orang banyak tentang relasi antara
televisi dan kehidupan nyata. Karena penelitian ini ada kaitannya dengan ‘menjamurnya’
acara kekerasan di televisi dan meningkatnya angka kejahatan di masyarakat,
maka temuan penelitian ini lebih terkait dengan efek kekerasan di media televisi terhadap persepsi khalayaknya tentang
dunia tempat mereka tinggal.
Salah satu temuan terpenting adalah bahwa penonton televisi
dalam kategori berat (heavy viewers)
mengembangkan keyakinan yang berlebihan tentang dunia sebagai tempat yang
berbahaya dan menakutkan. Sementara kekerasan yang mereka saksikan ditelevisi menanamkan
ketakutan sosial (social paranoia)
yang membangkitkan pandangan bahwa lingkungan mereka tidak aman dan tidak ada
orang yang dapat dipercaya. Media mempengaruhi penonton dan masing-masing
penonton itu menyakininya. Jadi, para pecandu televisi itu akan punya
kecenderungan sikap yang sama satu sama lain.
II
Asumsi Teori
Secara keilmuan untuk menunjukan bahwa televisi sebagai
media yang mempengaruhi pandangan kita terhadap realitas sosial, para peneliti cultivation analysis bergantung kepada
empat tahap proses:
1.
Message
system analysis: menganalisis isi program televisi.
2.
Formulation
of question about viewers’ social realities: pertanyaan yang berkaitan
dengan seputar realitas sosial penonton televisi.
3.
Survey the
audience: menanyakan kepada mereka seputar apa yang mereka konsumsi dari
media, dan
4.
Membandingkan realitas sosial antara penonton
berat dan orang yang jarang menonton televisi (penonton ringan).
Keempat tahap ini dapat disederhanakan menjadi dua jenis
analisis:
1.
Analisis isi (content analysis): mengidentifikasikan
acara utama yang disajikan oleh televisi.
2.
Analisis khalayak (audience research): melihat
pengaruh acara tersebut pada penonton.
Gerbner dan kawan-kawan mulai memetakan kandungan isi pada
prime time dan program televisi bagi anak-anak diakhir pekan. Ia menyatakan
bahwa televisi sebagai salah satu media modern, telah memperoleh tempat
sedemikian rupa dan sedemikian penting dalam kehidupan sehari-hari masyarakat.
Teori kultivasi melihat bahwa penonton televisi lebih dapat
mempercayai apa yang ditampilkan oleh televisi berdasarkan seberapa banyak
mereka menontonnya. Berdasarkan banyaknya waktu yang dihabiskan untuk menonton,
maka penonton televisi dikelompokkan dalam dua kategori yakni light viewer (penonton ringan: menonton
rata-rata dua jam perhari atau kurang dan hanya tayangan tertentu) dan heavy viewer (penonton berat: menonton
rata-rata empat jam perhari atau lebih dan tidak hanya tayangan tertentu).
Asumsi dasar teori:
1.
Televisi merupakan media yang unik.
Keunikan tersebut ditandai oleh
karakteristik televisi yang bersifat:
a.
Pervasive: menyebar dan hampir dimiliki seluruh
keluarga,
b.
Accessible: dapat diakses tanpa memerlukan
kemampuan literasi atau keahlian lain, dan
c.
Coherent: mempersentasikan pesan dengan dasar yang
sama tentang masyarakat melintasi program dan waktu.
2.
Semakin banyak seseorang menghabiskan waktu
untuk menonton televisi, semakin kuat kecenderungan orang tersebut menyamakan
realitas televisi dengan realitas sosial.
Menurut asumsi ini, dunia nyata (real world) dipersamakan dengan dunia
rekaan yang disajikan media tersebut (symbolic
world). Penonton mempersepsi apapun yang disajikan televisi sebagai
kenyataan sebenarnya. Namun, teori ini tidak mengeneralisasikan pengaruh
tersebut berlaku untuk semua penonton, melainkan lebih cenderung pada penonton
dalam kategori heavy viewer (penonton
berat).
Heavy viewer mempersepsi dunia ini sebagai tempat yang lebih kejam
dan menakutkan ketimbang kenyataan sebenarnya. Fenomena inilah yang kemudian
dikenal sebagai “the mean world syndrome”
(sindrom dunia kejam) yang merupakan sebentuk keyakinan bahwa dunia sebuah
tempat yang berbahaya di mana sulit ditemukan orang yang dapat dipercaya, dan banyak
orang di sekeliling kita yang dapat membahayakan diri kita sendiri.
3.
Penonton ringan (light viewers) cenderung menggunakan jenis media dan sumber
informasi yang lebih bervariasi (baik komunikasi bermedia maupun sumber
personal), semantara penonton berat (heavy
viewers) cenderung mengandalkan televisi sebagai sumber informasi mereka.
Asumsi ini menyatakan, kelompok
penonton yang termasuk kategori berat, umumnya memiliki akses dan kepemilikan media
yang lebih terbatas dengan mengandalkan televisi sebagai sumber informasi dan
hiburan mereka. Itulah sebabnya kemudian mereka membentuk gambaran tentang
dunia dalam pikirannya sebagaimana yang digambarkan televisi. Sebaliknya,
kelompk light viewers memiliki akses
media yang lebih luas, sehingga sumber informasi mereka menjadi lebih variatif.
Menurut teori ini, media massa
khususnya televisi diyakini memiliki pengaruh yang besar atas sikap dan perilaku
penontonnya (behavior effect). Teori ini lebih cenderung berbicara pengaruh
televisi pada tingkat komunitas atau masyarakat secara keseluruhan dan bukan
pada tingkat individual. Teori ini juga berpendapat bahwa pemirsa televisi
bersifat heterogen dan terdiri dari individu-individu yang pasif yang tidak
berinteraksi satu sama lain. Namun, mereka memiliki pandangan yang sama
terhadap realitas yang diciptakan media tersebut.
4.
Terpaan pesan televisi yang terus menerus
menyebabkan pesan tersebut diterima khalayak sebagai pandangan konsensus
masyarakat.
Terpaan televisi yang intens
dengan frekuensi terus menerus, membuat apa yang ada dalam pikiran penonton
televisi sebangun dengan apa yang disajikan televisi. Mereka menganggap bahwa
apapun yang muncul di televisi sebagai gambaran kehidupan sebenarnya.
5.
Televisi membentuk mainstreaming dan resonance.
Mainstreaming diartikan sebagai kemampuan memantapkan dan
menyeragamkan berbagai pandangan di masyarakat tentang dunia di sekitar mereka.
Dalam proses ini televisi pertama kali akan mengaburkan (blurring), kemudian membaurkan (blending)
dan melenturkan (bending). Sedangkan resonance mengimplikasikan pengaruh
pesan media dalam persepsi realita dikuatkan ketika apa yang dilihat orang di
televisi adalah apa yang mereka lihat dalam kehidupan nyata.
6.
Perkembangan teknologi baru memperkuat pengaruh
televisi.
Teknologi pendukung tidak akan
mengurangi dampak televisi sebagai sebuah media, tetapi akan meneguhkan dan
memperkuat.
Bukti utama asumsi cultivation analysis berasal dari
analisis isi pesan televisi Amerika secara sistematis yang dilakukan selama
beberapa tahun dan menunjukan distorsi realitas yang konsisten dalam
hubungannya dengan keluarga, pekerjaan dan peran, usia lanjut, mati dan
kematian, pendidikan, kekerasan dan kejahatan. Jadi, meskipun televisi bukanlah
satu-satunya sarana yang membentuk pandangan kita tentang dunia, televisi
merupakan salah satu media yang paling ampuh, terutama bila kontak dengan
televisi yang sangat sering dan berlangsung dalam waktu lama.
III
Aplikasi Teori
Berikut beberapa contoh aplikasi teori kultivasi:
1. Di negara kita pada tiga tahun terakhir
ini, program acara sinetron yang diputar televisi swasta Indonesia nyaris
seragam. Misalnya Putih Abu-Abu di stasiun SCTV.
-
Sinetron tersebut memberikan gambaran tentang konflik
antar orang tua dan anak. Contohnya ketika ada etika berperilaku terhadap orang
tua yang tidak sopan.
-
Konflik sesama teman (perkelahian) karena adnaya
kesirikan. Sering sekali hal ini terjadi antar sesama wanita yang sirik satu
dengan yang lainnya. Ada satu bagian dimana salah satu pemeran laki-laki
berkelahi dengan genk motor.
-
Penggunaan bahasa yang tidak baik. Munculnya
bahasa baru seperti “Kamseupay” yang
berarti konotasi negatif.
-
Adanya adegan penindasan dan penggambaran
kehidupan pelajar yang tidak pantas. Salah satu contoh yaitu tokoh yang bernama
Angel digambarkan sebagai sosok yang sombong, angkuh, dan menghalalkan segala
cara untuk mendapatkan sesuatu. Hal tersebut memberikan contoh yang tidak baik
kepada masyarakat. Apalagi bila tayangan sinetron ini ditonton oleh anak-anak
yang belum mengerti apa-apa. Anak tersebut menganggap berbuat curang dan kasar
adalah hal yang wajar.
-
Kehidupan kaum sosialita yang sombong. Dalam
sinetron ini kita seperti diajarkan untuk berteman dengan orang yang strata nya
sederajat dengan kita, dan tidak boleh berteman dengan "rakyat
jelata".
-
Tata cara berpakaian dalam sinetron ini juga
tidak pantas untuk dicontoh. Contohnya penggunaan seragam yang tidak sesuai
aturan, seperti kemeja ketat yang tidak dimasukkan dan rok mini.
Para pecandu
berat televisi terutama anak-anak akan mengatakan bahwa di masyarakat sekarang
konflik anak dan orang tua, kesombongan dan perkelahian sudah menjadi tabu.
Termasuk di sini konflik antara
orang tua dan anak. Penonton akan mengatakan saat ini semua anak memberontak
kepada orang tua tentang perbedaan antara keduannya, seperti “orang tua kuno, ketinggalan zaman.”
Mereka yakin bahwa televisi adalah potret sesungguhnya dunia nyata. Padahal
seperti yang bisa dilihat, tidak sedikit anak-anak yang masih hormat atau
bahkan masih mengiyakan apa yang dikatakan orang tua mereka.
Contoh lain sinetron Rahasia
ilahi yang hampir ditanyangkan oleh semua televisi swasta. Para pecandu berat
televisi (heavy viewers) akan
menganggap bahwa apa yang terjadi di televisi itulah dunia realitas. Mereka
beranggapan bahwa Tuhan itu kejam, pendendam, tukang siksa dan sebagainya.
Seperti itulah anggapan orang terhadap Tuhan. Pada hal Tuhan yang sebenarnya
adalah Zat yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang tidak seperti yang
tergambarkan pada beberapa adegan pada sinetron Rahasia Ilahi.
2. Judul Film :
Naruto
Genre
film :
Kartun (anak-anak)
Stasiun
:
Global tv
Pengamatan:
Naruto adalah salah satu film kartun
anak-anak yang ditayangkan oleh stasiun salah satu stasiun swasta (Global).
Sebagai film kartun yang akan ditonton oleh banyak anak-anak, menurut saya film
ini kurang sesuai untuk anak-anak karena banyak mengandung aksi-aksi kekerasan.
Aksi-aksi kekerasan seperti pemukulan, pembunuhan kerap dipertontonkan dalam
film ini. Tentu saja hal tersebut bisa mempengaruhi anak-anak untuk melakukan
tindakan kekerasan pula, dengan meniru adegan-adegan di film naruto, karena tv
adalah media massa audio visual yang dapat dilihat secara langsung dan dapat
dengan mudah mempengaruhi penontonnya, khusunya bagi penonton berat. Selain itu
film ini juga sering kali mempertontonkan hal-hal yang berbau pornografi,
walapun memang tidak terlalu banyak, tetapi tetap saja hal tersebut dapat
mempengaruhi anak-anak yang sering menonton.
3. Siding kasus pembunuhan di pengadilan
negeri Sungguminasa,gowa,Sulawesi Selatan,ricuh, Kamis (31/5) keluarga
korban beradu argumen serta bertengkar dengan keluarga tersangka.
Keributan ini dimulai sebelum siding
dimulai. Sebabnya adalah amukan puluhan keluarga terdakwa berorasi di depan
pengadilan. Mereka semua menuntut untuk membebaskan enam tersangka. Dasarnya
adalah apa yang mereka perbuat sesuai hokum adat. : yaitu pezinah harus di
bunuh.
Akhirnya tanpa banyak bicara lagi keluarga
terdakwa dan keluarga korban saling bertengkar dengan hebat, untungnya dapat di
atasi oleh puluhan aparat keamanaan.
Kasus pembunuhan ini terjadi di Gowa,
Sulawesi Selatan. Korban yang bernama Ahmad tewas seketika setelah di keroyok oleh enam terdakwa.
Ahmad kedapatan berzinah dengan istri majikannya.s
Kesimpulan:
Menurut saya seharusnya para terdakwa tidak
melakukan hal tersebut karena meskipun telah melakukan kesalahan (dengan
berzinah dengan majikan) akan tetapi sudah ada peraturan dan hukumnya
tersendiri tidak perlu membabi buta dengan mengeroyok (unsur kekerasan) korban
hingga korban meninggal
IV
Penutup
Demikian sekelumit contoh-contoh aplikasi teori kultivasi.
Teori kultivasi sebenarnya menawarkan kasus yang sangat masuk akal, khususnya dalam
tekannya pada kepentingan televisi sebagai media dan fungsi simbolik di dalam
konteks budaya. Akan tetapi, teori ini tidak lepas dari sasaran kritik.
Perilaku kita boleh jadi tidak hanya dipengaruhi oleh televisi, tetapi oleh
banyak media yang lain, pengalaman langsung, orang lain yang berhubungan dengan
kita dan sebagainya.
Walau banyak kritik terhadap teori ini, namun demikian dalam
kenyataannya teori ini memang dapat kita lihat pada masyarakat, terutama pada
anak-anak. Anak sebagai penonton, masih mudah dipangaruhi oleh pesan-pesan yang
disajikan televisi.
DAFTAR PUSTAKA
Ardianto,
Elvinaro, Lukiati Komala E. 2004. Komunikasi
Massa Suatu Pengantar. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.
Devito,
Joseph A., 1997. Komunikasi Antarmanusia
Kuliah Dasar. Jakarta: Professional Books.
Dominick,
Joseph R. 1990. The Dynamic of Mass
Communication. New York: Random House.
Griffin,
Emory A. 2004. A First Look At
Communication Theory. New York: McGraw-Hill.
Infante,
Dominic A, Andrew S. Rancer & Deanna F. Womack. 2003. Building Communication Theory. Long Grove: Waveland Press.
Mc Quail, Denis. 1987. Teori
Komunikasi Massa Edisi Kedua. Jakarta: Erlangga.
Wood, JT. 2000. Communication
Theories in Action. California: Belmont
www.aber.uk/media/documents/short/cultiv.html,
Cultivation Theory Week Eleven Lecture 24, cultivation theory by George
Gerbner.
www.asudayton/edu/com/faculty/kenny/cultivation.html,
George Gerbner Cultivation Theory.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar