Rabu, 06 Juni 2012

Cultivate Theory - Mengamati dan Menganalisa Program Kekerasan di Televisi


I
Pendahuluan

Cultivation Theory (Teori Kultivasi) untuk pertama kalinya di gagas oleh George Gerbner bersama dengan rekan-rekannya pada tahun 1969 dalam sebuah tulisan artikel dalam buku bertajuk “Mass Media and Violence”  yang disunting oleh D. Lange, R. Baker dan S. Ball dengan judul “the Television World of Violence”
Awalnya, Gerbner melakukan penelitian tentang “Indikator Budaya” untuk mempelajari pengaruh menonton televisi. Menurut Wood (2000), kata ‘Cultivation’ sendiri merujuk pada proses kumulatif dimana televisi menamkan suatu keyakinan tentang realitas sosial kepada khalayaknya.
Menurut Signorielli dan Morgan (1990 dalam Griffin, 2004), analisis kultivasi merupakan tahap lanjutan dari paradigma penelitian tentang efek media, yang sebelumnya dilakukan oleh George Gerbner yaitu ‘Cultural Indicator’ yang menyelidiki:
a      Proses institusional dalam produksi isi media,
b      Image isi media, dan
c       Hubungan antara pesan televisi dengan keyakinan dan perilaku khalayak.
Di awal perkembangannya, teori kultivasi ini lebih memfokuskan kajiannya pada studi televisi dan audience, khususnya pada beberapa acara kekerasan di televisi. Namun, dalam perkembangannya, ia juga bisa digunakan untuk kajian di luar tema kekerasan.
Gerbner bersama beberapa rekannya kemudian melanjutkan penelitian media massa tersebut dengan memfokuskan pada dampak media massa dalam kehidupan sehari-hari melalui Cultivation Analysis. Dari analisis tersebut diperoleh berbagai temuan yang menarik dan orisional yang kemudian mengubah keyakinan orang banyak tentang relasi antara televisi dan kehidupan nyata. Karena penelitian ini ada kaitannya dengan ‘menjamurnya’ acara kekerasan di televisi dan meningkatnya angka kejahatan di masyarakat, maka temuan penelitian ini lebih terkait dengan efek kekerasan di media televisi terhadap persepsi khalayaknya tentang dunia tempat mereka tinggal.
Salah satu temuan terpenting adalah bahwa penonton televisi dalam kategori berat (heavy viewers) mengembangkan keyakinan yang berlebihan tentang dunia sebagai tempat yang berbahaya dan menakutkan. Sementara kekerasan yang mereka saksikan ditelevisi menanamkan ketakutan sosial (social paranoia) yang membangkitkan pandangan bahwa lingkungan mereka tidak aman dan tidak ada orang yang dapat dipercaya. Media mempengaruhi penonton dan masing-masing penonton itu menyakininya. Jadi, para pecandu televisi itu akan punya kecenderungan sikap yang sama satu sama lain.


II
Asumsi Teori

Secara keilmuan untuk menunjukan bahwa televisi sebagai media yang mempengaruhi pandangan kita terhadap realitas sosial, para peneliti cultivation analysis bergantung kepada empat tahap proses:
1.     Message system analysis: menganalisis isi program televisi.
2.     Formulation of question about viewers’ social realities: pertanyaan yang berkaitan dengan seputar realitas sosial penonton televisi.
3.     Survey the audience: menanyakan kepada mereka seputar apa yang mereka konsumsi dari media, dan
4.     Membandingkan realitas sosial antara penonton berat dan orang yang jarang menonton televisi (penonton ringan).
Keempat tahap ini dapat disederhanakan menjadi dua jenis analisis:
1.     Analisis isi (content analysis): mengidentifikasikan acara utama yang disajikan oleh televisi.
2.     Analisis khalayak (audience research): melihat pengaruh acara tersebut pada penonton.
Gerbner dan kawan-kawan mulai memetakan kandungan isi pada prime time dan program televisi bagi anak-anak diakhir pekan. Ia menyatakan bahwa televisi sebagai salah satu media modern, telah memperoleh tempat sedemikian rupa dan sedemikian penting dalam kehidupan sehari-hari masyarakat.
Teori kultivasi melihat bahwa penonton televisi lebih dapat mempercayai apa yang ditampilkan oleh televisi berdasarkan seberapa banyak mereka menontonnya. Berdasarkan banyaknya waktu yang dihabiskan untuk menonton, maka penonton televisi dikelompokkan dalam dua kategori yakni light viewer (penonton ringan: menonton rata-rata dua jam perhari atau kurang dan hanya tayangan tertentu) dan heavy viewer (penonton berat: menonton rata-rata empat jam perhari atau lebih dan tidak hanya tayangan tertentu).

Asumsi dasar teori:
1.     Televisi merupakan media yang unik.
Keunikan tersebut ditandai oleh karakteristik televisi yang bersifat:
a.     Pervasive: menyebar dan hampir dimiliki seluruh keluarga,
b.     Accessible: dapat diakses tanpa memerlukan kemampuan literasi atau keahlian lain, dan
c.      Coherent: mempersentasikan pesan dengan dasar yang sama tentang masyarakat melintasi program dan waktu.
2.     Semakin banyak seseorang menghabiskan waktu untuk menonton televisi, semakin kuat kecenderungan orang tersebut menyamakan realitas televisi dengan realitas sosial.
Menurut asumsi ini, dunia nyata (real world) dipersamakan dengan dunia rekaan yang disajikan media tersebut (symbolic world). Penonton mempersepsi apapun yang disajikan televisi sebagai kenyataan sebenarnya. Namun, teori ini tidak mengeneralisasikan pengaruh tersebut berlaku untuk semua penonton, melainkan lebih cenderung pada penonton dalam kategori heavy viewer (penonton berat).
Heavy viewer mempersepsi dunia ini sebagai tempat yang lebih kejam dan menakutkan ketimbang kenyataan sebenarnya. Fenomena inilah yang kemudian dikenal sebagai “the mean world syndrome” (sindrom dunia kejam) yang merupakan sebentuk keyakinan bahwa dunia sebuah tempat yang berbahaya di mana sulit ditemukan orang yang dapat dipercaya, dan banyak orang di sekeliling kita yang dapat membahayakan diri kita sendiri.
3.     Penonton ringan (light viewers) cenderung menggunakan jenis media dan sumber informasi yang lebih bervariasi (baik komunikasi bermedia maupun sumber personal), semantara penonton berat (heavy viewers) cenderung mengandalkan televisi sebagai sumber informasi mereka.
Asumsi ini menyatakan, kelompok penonton yang termasuk kategori berat, umumnya memiliki akses dan kepemilikan media yang lebih terbatas dengan mengandalkan televisi sebagai sumber informasi dan hiburan mereka. Itulah sebabnya kemudian mereka membentuk gambaran tentang dunia dalam pikirannya sebagaimana yang digambarkan televisi. Sebaliknya, kelompk light viewers memiliki akses media yang lebih luas, sehingga sumber informasi mereka menjadi lebih variatif.
Menurut teori ini, media massa khususnya televisi diyakini memiliki pengaruh yang besar atas sikap dan perilaku penontonnya (behavior effect). Teori ini lebih cenderung berbicara pengaruh televisi pada tingkat komunitas atau masyarakat secara keseluruhan dan bukan pada tingkat individual. Teori ini juga berpendapat bahwa pemirsa televisi bersifat heterogen dan terdiri dari individu-individu yang pasif yang tidak berinteraksi satu sama lain. Namun, mereka memiliki pandangan yang sama terhadap realitas yang diciptakan media tersebut.
4.     Terpaan pesan televisi yang terus menerus menyebabkan pesan tersebut diterima khalayak sebagai pandangan konsensus masyarakat.
Terpaan televisi yang intens dengan frekuensi terus menerus, membuat apa yang ada dalam pikiran penonton televisi sebangun dengan apa yang disajikan televisi. Mereka menganggap bahwa apapun yang muncul di televisi sebagai gambaran kehidupan sebenarnya.
5.     Televisi membentuk mainstreaming dan resonance.
Mainstreaming diartikan sebagai kemampuan memantapkan dan menyeragamkan berbagai pandangan di masyarakat tentang dunia di sekitar mereka. Dalam proses ini televisi pertama kali akan mengaburkan (blurring), kemudian membaurkan (blending) dan melenturkan (bending). Sedangkan resonance mengimplikasikan pengaruh pesan media dalam persepsi realita dikuatkan ketika apa yang dilihat orang di televisi adalah apa yang mereka lihat dalam kehidupan nyata.
6.     Perkembangan teknologi baru memperkuat pengaruh televisi.
Teknologi pendukung tidak akan mengurangi dampak televisi sebagai sebuah media, tetapi akan meneguhkan dan memperkuat.
Bukti utama asumsi cultivation analysis berasal dari analisis isi pesan televisi Amerika secara sistematis yang dilakukan selama beberapa tahun dan menunjukan distorsi realitas yang konsisten dalam hubungannya dengan keluarga, pekerjaan dan peran, usia lanjut, mati dan kematian, pendidikan, kekerasan dan kejahatan. Jadi, meskipun televisi bukanlah satu-satunya sarana yang membentuk pandangan kita tentang dunia, televisi merupakan salah satu media yang paling ampuh, terutama bila kontak dengan televisi yang sangat sering dan berlangsung dalam waktu lama.

III
Aplikasi Teori

Berikut beberapa contoh aplikasi teori kultivasi:
1.    Di negara kita pada tiga tahun terakhir ini, program acara sinetron yang diputar televisi swasta Indonesia nyaris seragam. Misalnya Putih Abu-Abu di stasiun SCTV.
-       Sinetron tersebut memberikan gambaran tentang konflik antar orang tua dan anak. Contohnya ketika ada etika berperilaku terhadap orang tua yang tidak sopan.
-       Konflik sesama teman (perkelahian) karena adnaya kesirikan. Sering sekali hal ini terjadi antar sesama wanita yang sirik satu dengan yang lainnya. Ada satu bagian dimana salah satu pemeran laki-laki berkelahi dengan genk motor.
-       Penggunaan bahasa yang tidak baik. Munculnya bahasa baru seperti “Kamseupay” yang berarti konotasi negatif.
-       Adanya adegan penindasan dan penggambaran kehidupan pelajar yang tidak pantas. Salah satu contoh yaitu tokoh yang bernama Angel digambarkan sebagai sosok yang sombong, angkuh, dan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan sesuatu. Hal tersebut memberikan contoh yang tidak baik kepada masyarakat. Apalagi bila tayangan sinetron ini ditonton oleh anak-anak yang belum mengerti apa-apa. Anak tersebut menganggap berbuat curang dan kasar adalah hal yang wajar.
-       Kehidupan kaum sosialita yang sombong. Dalam sinetron ini kita seperti diajarkan untuk berteman dengan orang yang strata nya sederajat dengan kita, dan tidak boleh berteman dengan "rakyat jelata".
-       Tata cara berpakaian dalam sinetron ini juga tidak pantas untuk dicontoh. Contohnya penggunaan seragam yang tidak sesuai aturan, seperti kemeja ketat yang tidak dimasukkan dan rok mini.
Para pecandu berat televisi terutama anak-anak akan mengatakan bahwa di masyarakat sekarang konflik anak dan orang tua, kesombongan dan perkelahian sudah menjadi tabu.
Termasuk di sini konflik antara orang tua dan anak. Penonton akan mengatakan saat ini semua anak memberontak kepada orang tua tentang perbedaan antara keduannya, seperti “orang tua kuno, ketinggalan zaman.” Mereka yakin bahwa televisi adalah potret sesungguhnya dunia nyata. Padahal seperti yang bisa dilihat, tidak sedikit anak-anak yang masih hormat atau bahkan masih mengiyakan apa yang dikatakan orang tua mereka.
Contoh lain sinetron Rahasia ilahi yang hampir ditanyangkan oleh semua televisi swasta. Para pecandu berat televisi (heavy viewers) akan menganggap bahwa apa yang terjadi di televisi itulah dunia realitas. Mereka beranggapan bahwa Tuhan itu kejam, pendendam, tukang siksa dan sebagainya. Seperti itulah anggapan orang terhadap Tuhan. Pada hal Tuhan yang sebenarnya adalah Zat yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang tidak seperti yang tergambarkan pada beberapa adegan pada sinetron Rahasia Ilahi.
2.    Judul Film            : Naruto
Genre film            : Kartun (anak-anak)
Stasiun             : Global tv
Pengamatan:
Naruto adalah salah satu film kartun anak-anak yang ditayangkan oleh stasiun salah satu stasiun swasta (Global). Sebagai film kartun yang akan ditonton oleh banyak anak-anak, menurut saya film ini kurang sesuai untuk anak-anak karena banyak mengandung aksi-aksi kekerasan. Aksi-aksi kekerasan seperti pemukulan, pembunuhan kerap dipertontonkan dalam film ini. Tentu saja hal tersebut bisa mempengaruhi anak-anak untuk melakukan tindakan kekerasan pula, dengan meniru adegan-adegan di film naruto, karena tv adalah media massa audio visual yang dapat dilihat secara langsung dan dapat dengan mudah mempengaruhi penontonnya, khusunya bagi penonton berat. Selain itu film ini juga sering kali mempertontonkan hal-hal yang berbau pornografi, walapun memang tidak terlalu banyak, tetapi tetap saja hal tersebut dapat mempengaruhi anak-anak yang sering menonton.

3.    Siding kasus pembunuhan di pengadilan negeri Sungguminasa,gowa,Sulawesi Selatan,ricuh, Kamis (31/5) keluarga korban beradu argumen serta bertengkar dengan keluarga tersangka.
Keributan ini dimulai sebelum siding dimulai. Sebabnya adalah amukan puluhan keluarga terdakwa berorasi di depan pengadilan. Mereka semua menuntut untuk membebaskan enam tersangka. Dasarnya adalah apa yang mereka perbuat sesuai hokum adat. : yaitu pezinah harus di bunuh.
Akhirnya tanpa banyak bicara lagi keluarga terdakwa dan keluarga korban saling bertengkar dengan hebat, untungnya dapat di atasi oleh puluhan aparat keamanaan.
Kasus pembunuhan ini terjadi di Gowa, Sulawesi Selatan. Korban yang bernama Ahmad tewas seketika  setelah di keroyok oleh enam terdakwa. Ahmad kedapatan berzinah dengan istri majikannya.s
Kesimpulan:
Menurut saya seharusnya para terdakwa tidak melakukan hal tersebut karena meskipun telah melakukan kesalahan (dengan berzinah dengan majikan) akan tetapi sudah ada peraturan dan hukumnya tersendiri tidak perlu membabi buta dengan mengeroyok (unsur kekerasan) korban hingga korban meninggal

IV
Penutup

Demikian sekelumit contoh-contoh aplikasi teori kultivasi. Teori kultivasi sebenarnya menawarkan kasus yang sangat masuk akal, khususnya dalam tekannya pada kepentingan televisi sebagai media dan fungsi simbolik di dalam konteks budaya. Akan tetapi, teori ini tidak lepas dari sasaran kritik. Perilaku kita boleh jadi tidak hanya dipengaruhi oleh televisi, tetapi oleh banyak media yang lain, pengalaman langsung, orang lain yang berhubungan dengan kita dan sebagainya.
Walau banyak kritik terhadap teori ini, namun demikian dalam kenyataannya teori ini memang dapat kita lihat pada masyarakat, terutama pada anak-anak. Anak sebagai penonton, masih mudah dipangaruhi oleh pesan-pesan yang disajikan televisi.









DAFTAR PUSTAKA

Ardianto, Elvinaro, Lukiati Komala E. 2004. Komunikasi Massa Suatu Pengantar. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.

Devito, Joseph A., 1997. Komunikasi Antarmanusia Kuliah Dasar. Jakarta: Professional Books.

Dominick, Joseph R. 1990. The Dynamic of Mass Communication. New York: Random House.

Griffin, Emory A. 2004. A First Look At Communication Theory. New York: McGraw-Hill.

Infante, Dominic A, Andrew S. Rancer & Deanna F. Womack. 2003. Building Communication Theory. Long Grove: Waveland Press.

Mc Quail, Denis. 1987. Teori Komunikasi Massa Edisi Kedua. Jakarta: Erlangga.

Wood, JT. 2000. Communication Theories in Action. California: Belmont

www.aber.uk/media/documents/short/cultiv.html, Cultivation Theory Week Eleven Lecture 24, cultivation theory by George Gerbner.

www.asudayton/edu/com/faculty/kenny/cultivation.html, George Gerbner Cultivation Theory.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar