Di abad ke 21 ini, kehidupan pepatah mungkin sudah dianggap tidak penting. Kok saya bisa tahu? Jawabannya mudah, karena saya mengamati. Saya adalah sebagian warga kecil yang hidup di tempat kecil dengan penghasilan kecil, dipandang kecil oleh masyarakat kecil dan mempunyai keluarga kecil, namun besar dampaknya bagi saya.
Saya hidup dengan satu anak laki laki, istri saya meninggalkan kami karena saya tidak layak lagi sebagai tulang punggung keluarga. Ia meninggalkan seorang anak berharga. Anak kebanggaan bangsa. Anak masa depan. Sungguh bodoh ia menelantarkan kami begitu saja. Dari situlah saya bertekad demi jiwa dan raga kalau saya harus membesarkan dan mendidik anak saya dengan benar sehingga kelak menjadi orang berguna dan tidak di tinggalkan oleh orang yang di sayangi. Itulah tujuan hidup saya.
***
Suatu hari anak saya bertanya kepada saya, ”Pak, bisa engga sih hidup kita berubah? Dan kenapa sih harus ada rakyat kecil dan rakyat besar? Saya malu pak, untuk mengharumkan suara saya saja susah sekali”. Saya diam, lalu berkata,
”Kamu tau kenapa? Karena di bangsa ini masih banyak tikus tikus jahat yang berkeliaran. Mereka mencium keju dengan cepat lalu mencurinya demi kehidupan mereka sendiri. Mereka tidak malu kalau keju yang mereka makan itu hasil dari para semut yang rajin bekerja. Dan satu hal lagi, mereka tidak pernah mendengar ocehan para semut”
Tertegun saya mengingat kata kata itu, dimana masyarakat terutama kalangan bawah seperti saya bekerja keras mencari rizki hanya untuk sesuap nasi demi kelangsungan hidup kami sekeluarga, namun mereka dengan tidak-ada-rasa-malunya mengambil hak kami.
***
Saya bekerja bertemu dengan banyak orang dan bertemu dengan bau menyengit penginderaan. Di tengah perjalanan saya bertemu teman saya, teman sepekerja.
”Cari apa Bur?” Begitulah saya dipanggil, Burhan
”Mencari sesuap nasi. Kita sama kan?”
“Ya sama, kita kan sependeritaan. Gimana, anakmu? Sudah tidak bertanya dengan pertanyaan aneh? Saya heran, anakmu pintar sekali bertanya. Tapi ia salah bertanya. Bertanya kok dengan lulusan SD” Ketawa itu seperti menusuk saya dari belakang.
Saya walaupun lulusan SD tapi saya bangga karena orang tua saya menyekolahkan saya dengan jujur. Dengan keringat mereka sendiri sampai suatu saat otot dan keringat itu pun terhenti di kelulusan SD.
”Sudah tidak”
”Kamu tau Bur, saya setuju dengan pertanyaan anakmu itu. Saya sendiri tidak mengerti pertanyaannya. Kamu jawab apa emangnya?”.
”Kalau saya jelaskan, kamu mungkin tidak percaya. Karena yang berbicara itu lulusan SD”
***
Tidak lama dari pertemuan saya dan Dedi, anak calon kebanggan bangsa itu menghampiri di mana saya bekerja. Anak laki laki yang memakai celana merah itupun langsung saya rangkul di sepanjang perjalanan lalu saya kecup rambutnya. Anak lelaki yang sudah menjadi bagian hidup saya. Dan hanya ia lah tumpuh tanduk saya kepadanya. Anak laki laki yang hanya mengandalkan beasiswa sehingga ia bisa menuntut ilmu dan kelak menjadi seorang yang berguna.
Ditengah perjalanan, kami menemukan pohon tinggi dan besar yang sepertinya tempat yang nyaman bagi kami untuk beristirahat sejenak di teriknya panas matahari menyengat yang membuat sekujur tubuh saya berkeringat dan mengeluarkan semacam bau tidak sedap melalui bolongan bolongan baju.
Ketika saya beristirahat sejenak, seketika banyak sekali daun berguguran di tanah. Pada saat itu juga anak saya, Ramlan bertanya, ”Pak, bisa mengandaikan daun daun ini jatuh tidak?”
”Tidak. Emangnya apa? Kamu bisa?”
Anak laki laki itu diam sejenak, lalu berbicara dengan lantang.
”Bapak tahu tidak, saya terinspirasi dari perkataan Bapak tempo lalu. Bahwa banyak tikus di negara ini yang suka memakan keju orang lain. Seperti daun ini pak. Pohon pohon selalu membuang daun daunnya. Daun daun yang sangat dibutuhkan oleh semua mahluk hidup. Mereka membuang daun daun seakan akan itu tidak berharga dan akan tumbuh lagi di musimnya nanti. Mereka tidak menyadari bahwa kami, kaum ulat sangat membutuhkan daun itu untuk kelangsungan hidup kami. Hanya daun saja kami dapat bertahan hidup. Tapi ternyata suara kaum ulat tidak terdengar oleh para pohon” Oceh anak laki laki di bawah umur 10 tahun itu.
Sekejap saya diam. Terharu dan ingin melinangkan air mata. Tapi malu.
***
Pada akhirnya, anak kebanggaan bangsa itu mendapatkan nilai unggul dan berhak mendapatkan beasiswa lagi untuk melanjutkan belajar di tingkat selanjutnya. Tidak salah dan tidak sia sia juga saya banting tulang untuk kehidupan kami.
Anak itu semakin lama semakin bertambah besar dan berfikir kritis. Ia selalu menanyakan hal hal yang saya kurang mengerti. Mungkin ia salah bertanya dengan lulusan SD yang hanya mengandalkan cara membaca dan menulis. Selebihnya di andalkan dari keteguhan hati.
Pernah suatu saat saya membaca koran yang membuat hati saya seperti menangis dan tangan saya ingin merangkul. Didalam koran tersebut tercantum artikel Opini Masyarakat, saya membaca sambil terharu
Kepada bapak Presiden RI, Bambang Susilo Yudhoyono.
Pak, saya mungkin hanya orang kecil dari yang paling terkecil. Orang hina dari yang terhina. Orang kalangan bawah dari yang terbawah. Saya hidup dan mendapatkan pengetahuan dari beasiswa. Bapak saya seorang yang berguna bagi masyarakat tapi masyarakat tidak memperdulikannya.
Bapak yang terhormat, bukankah kita semua mempunyai hak? Hak untuk hidup, hak untuk berbicara dan hak untuk mengeluarkan pendapat? Tapi mengapa hak itu semua tidak kami dapatkan pak?
Bapak yang baik, saya menulis surat ini di koran sangat butuh perjuangan. Saya wakil dari sekian juta warga masyarakat yang tidak bisa menaruh aspirasi opininya di koran ini. Bapak tahu kenapa bangsa ini selalu terpuruk dan tidak pernah maju? Karena banyaknya tikus tikus di bangsa ini, Pak. Mereka selalu mencari keju di manapun, padahal keju tersebut bukan hasil kerjanya sendiri, tapi kerja dari para semut yang bekerja sama dengan giat.
Karena keterbatasan tempat dan waktu, sekian dari saya, terima kasih
Ramlan.
***
Umur saya semakin lama semakin tua dan penyakit yang saya derita semakin lama semakin banyak dan berjamur. Saya sudah tidak kuat lagi. Mungkin saya sudahkan perjalanan ini. Saya sudahkan ketika anak kebanggaan bangsa menjadi sukses dan sekarang sudah menjadi bagian dari tikus tikus yang beberapa tahun lalu menjadi topik hangat dalam percakapan kami. Ternyata suara yang ia salurkan melalui koran tempo lalu itu di dengar oleh pejabat negara dan ia di sekolahkan hingga selesai gelar sarjananya.
Akhirnya ia mempunyai anak yang soleh dan soleha, isteri yang soleha dan patuh pada suami dan mempunyai keluarga yang bahagia. Sekali lagi saya tidak sia sia membesarkannya. Namun kali ini, saya yakin ia adalah tikus yang baik, tikus yang bertanggung jawab, yang tidak memakan hak orang lain dan tidak saling membedakan.
Ketika akhir hidup saya segera tiba, saya masih ingat ketika anak kebanggaan bangsa itu bilang
”Bapak tahu tidak, saya terinspirasi dari perkataan Bapak tempo lalu. Bahwa banyak tikus di negara ini yang suka memakan keju orang lain. Seperti daun ini pak. Pohon pohon selalu membuang daun daunnya. Daun daun yang sangat dibutuhkan oleh semua mahluk hidup. Mereka membuang daun daun seakan akan itu tidak berharga dan akan tumbuh lagi di musimnya nanti. Mereka tidak menyadari bahwa kami, kaum ulat sangat membutuhkan daun itu untuk kelangsungan hidup kami. Hanya daun saja kami dapat bertahan hidup. Tapi ternyata suara kaum ulat tidak terdengar oleh para pohon” Tujuan hidup itu akhirnya bahagia. Akhirnya sesuai dengan keinginan. Akhirnya tidak sia sia dan akhirnya mereka tidak lagi menyebut saya sebagai ”sampah masyarakat” melainkan anak dari ”sampah masyarakat” yang sukses.
Perkataan itu terngiang ketika akhirnya saya harus ucapkan kata laa illaaha ilallah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar